Widget HTML #1

Penilaian Sumatif dan Formatif itu Melelahkan, Bung! Benarkah?

Paradigma yang tumbuh seiring dengan semakin mantapnya Kurikulum Merdeka dilaksanakan oleh seluruh satuan pendidikan secara bertahap dari Sabang sampai Merauke juga menerbitkan suatu pertanyaan tersendiri, khususnya mengenai bentuk penilaian formatif dan sumatif, yakni apakah hal itu applicable atau hanya angan-angan semata?

Kita tidak boleh semena-mena membagi guru kedalam golongan ekonomi kaya raya dan ekonomi mengenaskan meski hal tersebut terpampang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Guru non PNS yang berjuang di sekolah-sekolah swasta yang tidak laku dan muridnya lebih sering tidak bayar SPP, pasti akan makin kesulitan dengan tuntutan yang sebenarnya indah serta menuju kepada profesionalitas.

Bisa jadi guru-guru ini sudah lelah dengan banyak hal, sesuatu yang tidak 'dinikmati' oleh rekan-rekan mereka yang kaya raya, terutama karena mendapat tunjangan sana-sini. 

Mau ngomong apa juga, mereka yang melakukan penilaian, evaluasi dan administrasi dengan baik yang bermuara pada pemberian tunjangan tentu akan lebih 'rajin', sedang merekaa yang tidak, apa mau dikata?

penilaian era kurmer itu rumit?
penilaian era kurmer itu rumit?

Dalam Permendikbudristekdikti No 21 Tahun 2022 tertera dua jenis penilaian, yakni formatif dan sumatif. 

Mari berpikir positif dengan berpegang teguh pada konsep bahwa semua guru di Indonesia Raya sudah tahu inti, landasan serta perbedaan antara sumatif dan formatif tersebut. Namun pertanyaan kritis berikutnya, berapa persen yang konsisten, dalam tiap ganti bab/materi/unit benar-benar melakukan asesmen berbasis sumatif dan formatif?

Dalam waktu kurang dari 7 tahun, nomenklatur tes saja sudah berbeda-beda. Ada ulangan harian, kemudian penilaian harian, kemudian penilaian sumatif. Entah tahun depan kreativitas apa lagi yang harus kita terima. 

Mengapa perlu mengkritisi mengenai penilaian? Karena ada beberapa hal yang harus diingat, yakni: 

  1. Jika sudah dituangkan dalam permen, maka hal itu wajib dilakukan. 
  2. Penilaian berbentuk rubrik atau lainnya yang bukan nilai angka, tentu harus disosialisasikan kepada para subyek pendidikan itu sendiri, yakni siswa serta tentu saja orang tua siswa. Jangan sampai mereka yang sudah bingung karena elearning semenjak era PSBB makin bingung lagi karena tiap mata pelajaran terperincikan dalam rubrik, tabel atau skala. 
  3. Apa yang harus dilakukan agar guru di Indonesia mampu melakukan penilaian tersebut, termasuk menyusun dan menyajikannya?

Tiga hal di atas harus terus didengungkan untuk dipikirkan bersama. Sejauh mana daya dan kekuatan guru-guru serta sudah meratakah kompetensi para pendidik kita? 

Meski demikian dalam rangka menuju Indonesia makin baik, program yang bagus ini harus didukung. Bukan demikian, bung?

Guritno Adi
Guritno Adi Penulis adalah seorang praktisi, inovator dan pemerhati pendidikan. Memiliki pengalaman terjun di dunia pendidikan sejak 2007. Aktif menulis di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Blog yang sedang Anda baca adalah salah satu situs miliknya. Memiliki kerinduan untuk melihat generasi muda menjadi generasi pemenang yang siap menyongsong era Industri 4.0

Posting Komentar untuk "Penilaian Sumatif dan Formatif itu Melelahkan, Bung! Benarkah?"