Widget HTML #1

Uang, Nilai Lebih Dan Kenapa Jangan Jadi nJelimet

[Riba dan Sistem Perbankan | Benarkah bisa bebas dari riba?] Artikel ini membahas mengenai sebagian anggota masyarakat yang tidak menyukai sistem perbankan (riba). Di sini kita akan mengetahui bahwa hal itu bukanlah pertama kalinya. Suku Amish misal, juga melakukannya. Tapi ada perbedaan besar diantara keduanya. 

Uang, Nilai Lebih Dan Kenapa Jangan Jadi nJelimet

Berpikir terlalu njelimet hanya akan membuat hidup kita terasa berat, hingga akhirnya kita lupa bahwa hidup ini sebenarnya sangat indah.

Mengapa hidup ini indah? Karena pada dasarnya hidup ini sangat simpel, sesimpel burung yang tidur nyenyak dengan penuh kehangatan di dalam sangkar yang ia buat dari usahanya mengumpulkan helai-helai jerami. Sesimpel semut-semut yang menikmati cadangan makanan mereka ketika musim dingin tiba.

Alam telah mengajarkan kita bagaimana seharusnya menjalani hidup dengan sukacita. Bunga-bunga yang indah bersemi pada saatnya, ikan-ikan berkeriapan berenang dari satu sungai ke sungai yang lain atau hutan yang selalu hijau dan tak pernah berhenti memberikan segalanya pada penghuninya. Dengan pengajaran yang sangat bijaksana dari alam ditambah fakta bahwa manusia memiliki cipta, rasa dan karsa, harusnya tidak ada alasan untuk tidak bahagia.



Memang kita yang kini terdampar di jaman modern tidak lagi merasakan jambu, delima atau kersen  yang menyegarkan, manga yang manis atau kelapa yang nikmat dengan mudah dan gratis seperti kakek nenek kita memetik itu semua ketika berbaris berjalan waktu pulang sekolah. Juga air sungai yang jernih agar kita bisa mandi dan berenang bersama ikan-ikan, kayu yang tersedia secara cuma-cuma atau kelinci hutan untuk lauk makan malam. Dunia sudah berputar sedemikian rupa. Apa yang dahulu bisa didapatkan dengan mudah bahkan gratis, harus kita cari dengan lebih sulit dan tidak secara cuma-cuma.

Tidak ada yang menyangkal dunia dan segala isinya adalah milik Tuhan dan diciptakan olehNya dan hendaknya dikola untuk kebaikan bersama. Bahkan orang atheispun walau menolak premis ini, tetapi banyak yang juga percaya jika apapun itu, segala sumber daya alam di dunia hendaknya dikelola dengan bijak untuk kemasyahalatan manusia secara merata. Indah bukan?

Air memang gratis. Tetapi jika saya ingin air yang segar dan alami dari pengunungan Prigen yang katanya masih asri itu  untuk dibawa ke Surabaya, dikemas dengan rapi dalam botol, ya saya harus bayar. Mengapa? Karena mereka yang membantu saya menyediakan itu semua bahkan juga harus membayar. Demikian pula dengan ayam goreng yang kita makan yang sudah terjadi dengan menggoda di atas nasi putih pulen plus sambal tomat, atau baju-baju cantik yang terpampang di butik-butik. Semua itu berasal dari sumber daya alam dunia, milik Tuhan dan ciptaan Tuhan. Tetapi untuk bisa mengolahnya, para pekerja juga butuh makan, butuh air, butuh pakaian, dan butuh uang. Maka sudah sewajarnya kita mengganti proses berlelah mereka dengan uang.

Simpel dan sangat simpel, harusnya anak kecilpun paham proses ini. Bahkan jikalau kita mengambil nilai lebih, itupun masih bisa masuk nalar. Asal nalar kita sehat.
Satu hal yang saya salut dari orang Amish, mereka terlihat gentle! Mereka tidak merecoki masyarakat yang masih memegang nalar yang beranggapan proses ekonomi dengan nilai lebih adalah sebuah kewajaran

Bayangkan jika saya menjual suatu barang A yang saya beli dengan harga 1000 rupiah, lalu dengan perhitungan bensin, ongkos ini itu, seharusnya saya menjualnya dengan 1400 rupiah tapi saya jual 1900 rupiah, ini pun masih masuk nalar. Saya butuh selisihnya yang sebenarnya berasal dari keringat yang saya keluarkan. Lalu bagaimana mengkonversi keringat itu? Tidak perlu njelimet, anda kira-kira saja. Toh saya jual 100.000 rupiah juga tidak masalah, itu keringat-keringat saya. Lagian, saya bukan BUMN yang harus tunduk pada aturan pemerintah. Masalahnya ada yang mau beli tidak? Kalau ada ya tentu saya jual tinggi, kalau tidak ada, saya turunkan agar tetap bisa bersaing dengan kompetitor saya.

Inilah prinsip ekonomi. Sangat mudah dan bahkan tanpa diterangkanpun seharusnya kita sudah mahfum. Lalu kita sebut apa nilai lebih ini? Terserah anda, mau disebut keuntungan, ongkos, uang lelah, uang rokok, profit, bunga, riba. Apapun itu, tetapi prosesnya sama. Kecuali anda hidup di negara utopis komunis, dimana semuanya gratis tis. Tetapi anda harus bekerja tanpa upah juga. Nah, sama khan? Masalahnya, di dunia ini, negara semacam itu tidak pernah ada. Yang ada anda bekerja keras, dan para pejabatnya tidur sambil menghisap darah dan keringat anda. Tengok saja Korea Utara.

Sekilas semua tampak sederhana, dan memang sebenarnya sesederhana ini. Nilai lebih harus ada dan pasti ada, cuma namanya saja beda. Anda mau pakai kata keuntungan, karena menjual kue yang total hanya membutuhkan 2.000 tetapi terjual 20.000, boleh saja. Mungkin kue anda memang secara ‘ragawi’ hanya 2.000, tetapi di tangan anda yang penuh jiwa seni, kue itu menjadi sepuluh kali lipat nilainya. Mau pakai kata riba, kalau anda mau juga tidak apa-apa. Anda menginvestasikan uang kepada teman anda lalu teman anda bersukacita karena anda mau memberikan uang yang ia butuhkan dan hanya dikembalikan secara nyicil  hingga lunas pada nominal dan waktu yang disepakati. Mau anda kasih nama ongkos, boleh! Ada seorang yang pintar bahasa Persia, lalu anda pingin anak anda pintar bahasa Persia. Anda menitipkan anak anda pada orang itu, kemudian dengan telaten orang itu mengajari anak anda. Sebagai gantinya, anda memberinya sejumlah uang. Kalau ia tidak mau tidak apa-apa, tapi kalau anda yang tidak mau membayarnya karena menganggap itu perkara sepele, anda kelewatan. Dia sudah bekerja, dan meluangkan waktunya, yang harusnya bisa ia gunakan untuk hal lainnya.

Simpel khan?

Lalu bagaimana dengan orang yang menentang keras nilai lebih / riba / keuntungan dari proses ekonomi yang ia jalani. Tidak masalah.  Justru yang salah yang menyalahkan. Jika ada orang yang tidak mau makan riba ya tidak apa-apa, mungkin ia punya pendapat lain. Tetapi harusnya orang seperti itu dipersilahkan keluar dari proses ekonomi. Jika tidak, maka mungkin ada yang salah dengan nalarnya.

Ambil contoh suku Amish. Suku yang mengaku keturunan Jerman ini adalah aset berharga sekaligus paradok bagi negaranya, Amerika Serikat. Tinggal di Amerika, suku ini tidak mau ikut campur proses ekonomi, setidaknya meminimalisir. Point-nya sama, mereka tidak mau makan riba! Plus mereka juga tidak mau hidup dalam teknologi yang mereka anggap dapat menurunkan derajat nilai dan norma yang mereka pegang teguh.

Alhasil mereka seakan menyepi, minggir dari peradaban masyarakat. Mereka membentuk komunitas sendiri lengkap dengan sekolah, rumah sakit, dan kehidupannya. Tetapi apa benar di Amish tidak ada proses perdagangan alias ekonomi sama sekali? Saya juga tidak begitu yakin.

Satu hal yang saya salut dari orang Amish, mereka terlihat gentle! Mereka tidak merecoki masyarakat yang masih memegang nalar yang beranggapan proses ekonomi dengan nilai lebih adalah sebuah kewajaran. Mereka yang justru memilih untuk menyepi, minggir dan tersingkir dari hingar-bingar dunia. Entah kenapa ada rasa kagum dalam diri saya pribadi melihat itu semua.

Tetapi rasa kagum sama sekali tidak saya berikan pada mereka yang masih hidup di tengah-tengah derap perekonomian pada umumnya tetapi mencacinya. Menganggap nilai lebih dan padanan kata yang lain itu sebagai riba. Padahal, andai mereka berani jujur (dan ini tidak mudah), mereka dan keluarga mereka masih terkontaminasi nilai lebih yang mereka anggap jahat itu. Mulai dari naik angkot, membayar pajak / stnk / listrik / pulsa melalui bank, hingga membayar bakso yang mereka makan, itu semua mengandung nilai lebih. Terlebih lagi, jika ternyata mereka mendapatkan gaji / profit dari proses ekonomi yang mereka benci. Bukankah ini sama dengan meludahi sumur yang masih digunakan untuk minum?

Semua tindakan mengandung konsekuensi. Bahkan sebenarnya tidak bertindak sekalipun adalah juga sebuah tindakan, sebuah pilihan. Terkadang karena satu dan lain hal, kita memilih untuk bertindak bukan karena pemikiran kita sendiri, melainkan dari pemikiran orang lain yang kita anggap itu sebagai sebuah kebenaran.

Saya tidak berani berkata orang Amish jauh lebih bahagia atau bahkan sebenarnya lebih menderita dari saya yang masih hidup ‘di bawah rejim ekonomi’ yang terkontaminasi nilai lebih. Bahagia itu relatif dan hanya orang yang menjalani yang tahu. Selebihnya, hanya bisa memandang dan seringkali sambil mengomentari.

Tetapi satu hal, saya tidak berkeberatan dengan semua nilai lebih ini. Jikalau memang suatu barang terlalu mahal, jika anda bisa, beli barang yang lain. Sesimpel itu. Kecuali terjadi monopoli, itulah sesuatu yang merugikan dan wajib kita lawan.

Konklusi: Bahagia itu sederhana, itu yang selalu saya pegang. Saya mungkin bukan orang bijaksana, tetapi bagi saya cukup dua kata untuk menggambarkan bahagia: damai dan sejahtera. Untuk mendapatkannya, juga sama sederhananya, bekerja dan bercinta. Melakukan keduanya dengan seimbang, ikhlas dan jujur. Selamat berbahagia.

Rock You As Always

Adi.Fun.Learning
www.esaiedukasi.com
-Read, Change, Grow-
Guritno Adi
Guritno Adi Penulis adalah seorang praktisi, inovator dan pemerhati pendidikan. Memiliki pengalaman terjun di dunia pendidikan sejak 2007. Aktif menulis di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Blog yang sedang Anda baca adalah salah satu situs miliknya. Memiliki kerinduan untuk melihat generasi muda menjadi generasi pemenang yang siap menyongsong era Industri 4.0

Posting Komentar untuk "Uang, Nilai Lebih Dan Kenapa Jangan Jadi nJelimet"